Agak sedikit
terlambat kesannya saya memposting tulisan ini. Mengingat dalam dua postingan
saya sebelumnya malah memnyajikan beberapa foto hasil “tangkapan”. Tapi
sejujurnya hal ini bukanlah disengaja. Saya baru terpikir untuk memuat tulisan
tentang pandangan islam terhadap fotografi beberapa jam sebelum tulisan ini
dibuat.
Beberapa tahun
lalu, saat saya masih bergabung dalam tabloid idealita STAIN Batusangkar,
pertanyaan tentang fotografi dalam islam ini muncul untuk pertamakalinya. Saat
itu saya mencoba untuk mencari beberapa sumber di internet (tipe mahasiswa yang lebih rajin ke warnet
daripada ke perpus), saya menemukan beberapa artikel yang membahas tentang hal
ini. Salah satu yang sangat menarik hati saya adalah artikel berjudul “Hukum
Fotografi” yang dimuat pada situs media.isnet.org. artikel tersebut merupakan
fatwa dari Dr. Yusuf Qardhawi dari buku “Fatwa-fatwa kontemporer”. Sungguh saya
sangat terkesan dengan analisa beliau dalam fatwa tersebut.
Namun saat ini,
saya merasa kurang adil jika hanya menampilkan satu fatwa saja, sedangkan dalam
dunia maya ada berbagai tipe umat dengan sudut pandang yang tentunya tidak bisa
dihitung sama. Untungnya, sama menemukan satu artikel lagi yang tidak kalah
menarik untuk dibaca (menurut saya). Dibawah ini saya sajikan artilek tersebut,
dikutip dari forum fotografer.net. semoga bermanfaat untuk kita semua:
HUKUM FOTOGRAFI
Permasalahan
fotografi erat kaitannya dengan masalah tashwir, sebagian ulama
mengharamkan fotografi berdasarkan hadits-hadits yang melarang tashwir,
seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas
Artinya :
"setiap mushawwir akan masuk neraka, setiap gambar yang dihasilkannya akan
dihidupkan, dan dengannya ia akan diazab"[1]
dan hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari dari Aisyah
Artinya : ''Orang
yang paling kuat siksaanya di hari kiamat adalah para pelukis yang meniru-niru
penciptaan Allah ''
Terdapat beberapa
hadits lainnya yang menjelaskan tentang pengharaman tashwir. Namun, dua hadits
tersebut sudah mewakili dalil para ulama yang mengharamkan tashwir
dengan illah Al mudhahah atau Tasyabuh bikhalqillah dan
setiap mushawwir akan diazab di dalam neraka Jahannam.
Adapun mengenai
fotografi terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, sebagian ulama
berpendapat bahwasanya fotografi sama hukumnya dengan tashwir. Namun,
diantara para ulama yang menyamakan hukum fotografi dengan tashwir ada
yang mengharamkannya secara mutlaq dan ada juga yang membolehkannya hanya untuk
keperluan darurat, seperti untuk foto paspor ataupun kartu tanda pengenal.
Diantara ulama
yang mengharamkan fotografi secara mutlaq adalah syekh Bin Baz, beliau
mengatakan dalil-dalil yang mengaramkan tashwir juga berlaku dalam
fotografi.[3] Karena fotografi dapat menimbulkan sifat al ghuluw dari
seorang fotografer yang merupakan sifat tidak terpuji dan juga awal dari sebuah
kemusyrikan dan fotografi menyerupai perbuatan orang musyrik. Sebab
pengharaman lainnya adalah, fotografi merupakan sebuah perbuatan yang sia-sia
dan menghabur-hamburkan uang.
Sedangkan syekh
Ali al-Shabuny dalam kitabnya Tafsir Ayatul Ahkam mengatakan, walaupun secara
sharih dalil-dalil yang mengharamkan tashwir tidak mengandung
pengharaman fotografi, akan tetapi secara adat dan bahasa fotografi masih
dalam ruang lingkup tashwir, seorang fotografer juga disebut mushawwir
dan foto yang dihasilkan disebut shurah. Oleh karena itu fotografi hanya
dibolehkan dalam kepentingan darurat dan untuk kemaslahatan saja, mengingat ada
efek negatif yang sangat besar yang ditimbulkan oleh fotografi sebagaimana yang
kita lihat selama ini foto-foto yang tidak layak terpampang di berbagai
majalah.[4]
Adapun jumhur
ulama muaakhirin seperti syekh Bakhit Muthi'i, syekh Jadul Haq Ali Jadul haq,
syekh Ali Al-Sais, syekh Yusuf Al-qardhawi, syekh Mutawalli sya'rawi, syekh
Ramadhan al-Bouty dan syekh Ali Jumah menghalalkan fotografi selama tidak
menyimpang dari syariat islam.[5]
Para ulama yang
berpendapat bahwasanya fotografi tidak haram mengatakan, dalil-dalil
pengharaman tashwir tidak mencakup kepada pengharaman tashwir.
Sebagaimana kita ketahui bahwasanya foto yang dihasilkan oleh proses fotografi
merupakan rekaman bayangan, dan lebih menyerupai dengan video. Oleh karena itu illah
mudhahah dan attasyabuh bikhalqillah tidak terdapat dalam
fotografi.
Syekh Ali Al-sais
mengibaratkan foto yang dihasilkan oleh media fotografi, ibarat seorang yang
berdiri di depan cermin lalu cermin tersebut memantulkan sebuah gambar. Apakah
gambar yang dipantulkan oleh cermin tersebut bisa dikatakan sebuah gambar yang
dilukiskan oleh seseorang?, tentunya tidak. Demikianlah gambaran cara kerja
sebuah kamera yang menyerupai cara kerja cermin dalam memantulkan gambar.[6]
Serupa dengan
pendapat tersebut, Dr. Zakir Naik menyatakan, Dalam hadits dikatakan bahwa
orang yang melakukan tashwir (orang yang menggambar mahluq bernyawa),
Allah akan menyuruh mereka menghidupkan gambar tersebut pada hari kiamat,
tetapi mereka tidak bisa. Jadi membuat gambar dan lukisan mahluq bernyawa
seperti hewan dan manusia adalah dilarang. Sedangkan fotografi adalah
semata-mata pantulan/refleksi benda yang disimpan dalam sebuah kertas (media).
Nabi tidak pernah mencegah para sahabat melihat pantulan/refleksi diri ketika
mereka menyisir rambut, Beliau tidak pernah melarang mereka bercermin. Jadi
bercermin adalah sesuatu yang tidak dilarang. Dalam fotografi pantulan itu
disimpan dalam media, sehingga ulama berpendapat fotografi tidaklah haram. Tapi
jika anda menggunakan fotografi untuk hal yang keliru seperti disembah maka itu
menjadi haram. Menggunakan fotografi untuk hal yang keji, seperti pornografi
maka itu haram. Menggunakan fotografi untuk foto pajangan besar, foto tokoh
idola tertentu yang memunculkan kekaguman, ini juga haram. Jadi fotografi
tidaklah haram tetapi menggunakan fotografi untuk hal-hal yang keliru adalah
haram.
Dr. yusuf
Qarhawi juga menyatakan:“Fotografi ini tidak terlarang dengan syarat objeknya
adalah halal. Dengan demikian, tidak boleh memotret wanita telanjang atau
hampir telanjang, atau memotret pemandangan yang dilarang syara'. Tetapi jika
memotret objek-objek yang tidak terlarang, seperti teman atau anak-anak,
pemandangan alam, ketika resepsi, atau lainnya, maka hal itu dibolehkan.
Kemudian ada pula kondisi-kondisi tertentu yang tergolong darurat sehingga
memperbolehkan fotografi meski terhadap orang-orang yang diagungkan sekalipun,
seperti untuk urusan kepegawaian, paspor, atau foto identitas. Adapun
mengoleksi foto-foto para artis dan sejenisnya, maka hal itu tidak layak bagi
seorang muslim yang memiliki perhatian terhadap agamanya. Apa manfaatnya
seorang muslim mengoleksi foto-foto artis? Tidaklah akan mengoleksi foto-foto
seperti ini kecuali orang-orang tertentu yang kurang pekerjaan, yang hidupnya
hanya disibukkan dengan foto-foto dan gambar-gambar. Adapun jika mengoleksi
majalah yang didalamnya terdapat foto-foto atau gambar-gambar wanita telanjang,
hal ini patut disesalkan. Lebih-lebih pada zaman sekarang ini, ketika
gambar-gambar dan foto-foto wanita dipajang sebagai model iklan, mereka dijadikan
perangkap untuk memburu pelanggan.
Model-model iklan seperti ini biasanya dipotret dengan penampilan yang
seronok. Majalah dan surat kabar juga menggunakan cara seperti itu, mereka sengaja
memasang foto-foto wanita pemfitnah untuk menarik minat pembeli. Anehnya,
mereka enggan memasang gambar pemuda atau orang tua.”
Dari penjabaran
diatas, dapat kita pahami ada 3 pendapat berbeda dari para ulama perihal hukum
fotografi, yaitu:
1. Ulama
yang mengharamkan fotografi secara mutlaq
2. Ulama
yang mengharamkan fotografi, namun membolehkan untuk keadaan darurat.
3. Ulama
yang membolehkan fotografi asalkan objeknya bukanlah hal-hal yang bertentangan
dengan syari’at.
Pendapat
manapun yang kita pilih, hendaknya berpijak pada dalil serta pendapat ulama yang terpecaya.
Bukan hanya sekedar taqlid atau
mengandalkan rasio semata. Wallahua’lam
Bissawab.
[1] Shahih Muslim, hadits 5662, bab la tadkhulul
malaaikata fihi kalb.
[2] Shahih Bukhari, hadits 5954,bab ma wuthia minattashwir.
[3] http : www.binbaz.org.sa/mat/4206.
[4] Al-Shabuni, tafsir ayatul Ahkam, penerbit dar
el shabuni, hal 300.
[6] Al-shabuni, tafsir ayatul Ahkam, penerbit
dar el shabuni, hal 300.