Laman

Minggu, 22 Februari 2015

FOTOGRAFI DALAM PANDANGAN ISLAM

Agak sedikit terlambat kesannya saya memposting tulisan ini. Mengingat dalam dua postingan saya sebelumnya malah memnyajikan beberapa foto hasil “tangkapan”. Tapi sejujurnya hal ini bukanlah disengaja. Saya baru terpikir untuk memuat tulisan tentang pandangan islam terhadap fotografi beberapa jam sebelum tulisan ini dibuat.
Beberapa tahun lalu, saat saya masih bergabung dalam tabloid idealita STAIN Batusangkar, pertanyaan tentang fotografi dalam islam ini muncul untuk pertamakalinya. Saat itu saya mencoba untuk mencari beberapa sumber di internet  (tipe mahasiswa yang lebih rajin ke warnet daripada ke perpus), saya menemukan beberapa artikel yang membahas tentang hal ini. Salah satu yang sangat menarik hati saya adalah artikel berjudul “Hukum Fotografi” yang dimuat pada situs media.isnet.org. artikel tersebut merupakan fatwa dari Dr. Yusuf Qardhawi dari buku “Fatwa-fatwa kontemporer”. Sungguh saya sangat terkesan dengan analisa beliau dalam fatwa tersebut.
Namun saat ini, saya merasa kurang adil jika hanya menampilkan satu fatwa saja, sedangkan dalam dunia maya ada berbagai tipe umat dengan sudut pandang yang tentunya tidak bisa dihitung sama. Untungnya, sama menemukan satu artikel lagi yang tidak kalah menarik untuk dibaca (menurut saya). Dibawah ini saya sajikan artilek tersebut, dikutip dari forum fotografer.net. semoga bermanfaat untuk kita semua:
HUKUM FOTOGRAFI
Permasalahan fotografi erat kaitannya dengan masalah tashwir, sebagian ulama mengharamkan fotografi berdasarkan hadits-hadits yang melarang tashwir, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas
Artinya : "setiap mushawwir akan masuk neraka, setiap gambar yang dihasilkannya akan dihidupkan, dan dengannya ia akan diazab"[1]
dan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah
Artinya : ''Orang yang paling kuat siksaanya di hari kiamat adalah para pelukis yang meniru-niru penciptaan Allah ''
Terdapat beberapa hadits lainnya yang menjelaskan tentang pengharaman tashwir. Namun, dua hadits tersebut sudah mewakili dalil para ulama yang mengharamkan tashwir dengan illah Al mudhahah atau Tasyabuh bikhalqillah dan setiap mushawwir akan diazab di dalam neraka Jahannam.
Adapun mengenai fotografi terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, sebagian ulama berpendapat bahwasanya fotografi sama hukumnya dengan tashwir. Namun, diantara para ulama yang menyamakan hukum fotografi dengan tashwir ada yang mengharamkannya secara mutlaq dan ada juga yang membolehkannya hanya untuk keperluan darurat, seperti untuk foto paspor ataupun kartu tanda pengenal.
Diantara ulama yang mengharamkan fotografi secara mutlaq adalah syekh Bin Baz, beliau mengatakan dalil-dalil yang mengaramkan tashwir juga berlaku dalam fotografi.[3] Karena fotografi dapat menimbulkan sifat al ghuluw dari seorang fotografer yang merupakan sifat tidak terpuji dan juga awal dari sebuah kemusyrikan dan fotografi menyerupai perbuatan orang  musyrik. Sebab pengharaman lainnya adalah, fotografi merupakan sebuah perbuatan yang sia-sia dan  menghabur-hamburkan uang.
Sedangkan syekh Ali al-Shabuny dalam kitabnya Tafsir Ayatul Ahkam mengatakan, walaupun secara sharih dalil-dalil yang mengharamkan tashwir tidak mengandung  pengharaman fotografi, akan tetapi secara adat dan bahasa fotografi masih dalam ruang lingkup tashwir, seorang fotografer juga disebut mushawwir dan foto yang dihasilkan disebut shurah. Oleh karena itu fotografi hanya dibolehkan dalam kepentingan darurat dan untuk kemaslahatan saja, mengingat ada efek negatif yang sangat besar yang ditimbulkan oleh fotografi sebagaimana yang kita lihat selama ini foto-foto yang tidak layak terpampang di berbagai majalah.[4]
Adapun jumhur ulama muaakhirin seperti syekh Bakhit Muthi'i, syekh Jadul Haq Ali Jadul haq, syekh Ali Al-Sais, syekh Yusuf Al-qardhawi, syekh Mutawalli sya'rawi, syekh Ramadhan al-Bouty dan syekh Ali Jumah menghalalkan fotografi selama tidak menyimpang dari syariat islam.[5]
Para ulama yang berpendapat bahwasanya fotografi tidak haram mengatakan, dalil-dalil pengharaman tashwir tidak mencakup kepada pengharaman tashwir. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya foto yang dihasilkan oleh proses fotografi merupakan rekaman bayangan, dan lebih menyerupai dengan video. Oleh karena itu illah mudhahah dan attasyabuh bikhalqillah tidak terdapat dalam fotografi.
Syekh Ali Al-sais mengibaratkan foto yang dihasilkan oleh media fotografi, ibarat seorang yang berdiri di depan cermin lalu cermin tersebut memantulkan sebuah gambar. Apakah gambar yang dipantulkan oleh cermin tersebut bisa dikatakan sebuah gambar yang dilukiskan oleh seseorang?, tentunya tidak. Demikianlah gambaran cara kerja sebuah kamera yang menyerupai cara kerja cermin dalam memantulkan gambar.[6]
Serupa dengan pendapat tersebut, Dr. Zakir Naik menyatakan, Dalam hadits dikatakan bahwa orang yang melakukan tashwir (orang yang menggambar mahluq bernyawa), Allah akan menyuruh mereka menghidupkan gambar tersebut pada hari kiamat, tetapi mereka tidak bisa. Jadi membuat gambar dan lukisan mahluq bernyawa seperti hewan dan manusia adalah dilarang. Sedangkan fotografi adalah semata-mata pantulan/refleksi benda yang disimpan dalam sebuah kertas (media). Nabi tidak pernah mencegah para sahabat melihat pantulan/refleksi diri ketika mereka menyisir rambut, Beliau tidak pernah melarang mereka bercermin. Jadi bercermin adalah sesuatu yang tidak dilarang. Dalam fotografi pantulan itu disimpan dalam media, sehingga ulama berpendapat fotografi tidaklah haram. Tapi jika anda menggunakan fotografi untuk hal yang keliru seperti disembah maka itu menjadi haram. Menggunakan fotografi untuk hal yang keji, seperti pornografi maka itu haram. Menggunakan fotografi untuk foto pajangan besar, foto tokoh idola tertentu yang memunculkan kekaguman, ini juga haram. Jadi fotografi tidaklah haram tetapi menggunakan fotografi untuk hal-hal yang keliru adalah haram.
Dr. yusuf Qarhawi juga menyatakan:“Fotografi ini tidak terlarang dengan syarat objeknya adalah halal. Dengan demikian, tidak boleh memotret wanita telanjang atau hampir telanjang, atau memotret pemandangan yang dilarang syara'. Tetapi jika memotret objek-objek yang tidak terlarang, seperti teman atau anak-anak, pemandangan alam, ketika resepsi, atau lainnya, maka hal itu dibolehkan. Kemudian ada pula kondisi-kondisi tertentu yang tergolong darurat sehingga memperbolehkan fotografi meski terhadap orang-orang yang diagungkan sekalipun, seperti untuk urusan kepegawaian, paspor, atau foto identitas. Adapun mengoleksi foto-foto para artis dan sejenisnya, maka hal itu tidak layak bagi seorang muslim yang memiliki perhatian terhadap agamanya. Apa manfaatnya seorang muslim mengoleksi foto-foto artis? Tidaklah akan mengoleksi foto-foto seperti ini kecuali orang-orang tertentu yang kurang pekerjaan, yang hidupnya hanya disibukkan dengan foto-foto dan gambar-gambar. Adapun jika mengoleksi majalah yang didalamnya terdapat foto-foto atau gambar-gambar wanita telanjang, hal ini patut disesalkan. Lebih-lebih pada zaman sekarang ini, ketika gambar-gambar dan foto-foto wanita dipajang sebagai model iklan, mereka dijadikan perangkap untuk memburu pelanggan.
Model-model iklan seperti ini biasanya dipotret dengan penampilan yang seronok. Majalah dan surat kabar juga menggunakan cara seperti itu, mereka sengaja memasang foto-foto wanita pemfitnah untuk menarik minat pembeli. Anehnya, mereka enggan memasang gambar pemuda atau orang tua.”
Dari penjabaran diatas, dapat kita pahami ada 3 pendapat berbeda dari para ulama perihal hukum fotografi, yaitu:
1.      Ulama yang mengharamkan fotografi secara mutlaq
2.      Ulama yang mengharamkan fotografi, namun membolehkan untuk keadaan darurat.
3.   Ulama yang membolehkan fotografi asalkan objeknya bukanlah hal-hal yang bertentangan dengan syari’at.
Pendapat manapun yang kita pilih, hendaknya berpijak pada dalil serta pendapat ulama yang terpecaya. Bukan hanya sekedar taqlid atau mengandalkan rasio semata. Wallahua’lam Bissawab.

[1] Shahih Muslim, hadits 5662, bab la tadkhulul malaaikata fihi kalb. 
[2] Shahih Bukhari, hadits 5954,bab ma wuthia minattashwir.
[4] Al-Shabuni, tafsir ayatul Ahkam, penerbit dar el shabuni, hal 300.
[6] Al-shabuni, tafsir ayatul Ahkam, penerbit dar el shabuni, hal 300.

Rabu, 18 Februari 2015

Menyambut Matahari di Bukik Shaduali (Tanah Datar)

 "rembulan kesiangan"
 "dan semburat cahayapun mengambang di ufuk"
 "cahaya dari timur"
 "pimpiang marunduak!!"
 "dia yang mengintip di timur"



"dan hari baru-pun dimulai"
Bismillah....iseng2 bikin blog biar g' gaptek terus...jadi jangan heran ya kalau ntar isi2 cuma iseng2 dan g' bermutu....